Saturday, August 28, 2004

Pijar Yang Meredup

"Semangat". Itulah yang orang-orang terus menerus katakan untuk membangkitkan harapan yang telah meredup, tapi apa yang harus dilakukan pabila pemantik harapan tersebut pun telah kehilangan pijarnya?

Pernah nggak sih terpikirkan sampai berapa lama kita diijinkan untuk menempati dunia ragawi ini?

Entah kenapa, terkadang rasanya kematian bukanlah suatu hal yang menakutkan... terkadang mereka seperti teman hangat yang siap menjemput disaat pijar api semangat itu mulai meredup.

Bukan berarti lalu diri ini berhak memutuskan untuk berpisah dari raganya, karena kita bertiga disini—roh, tubuh dan jiwa—bukanlah pemilik akan dirinya sendiri.

Kita disini hanyalah sebagai penumpang yang diperkenankan tinggal untuk menempati ruang dan waktu ini dalam tubuh yang fana, hanya untukberbuat sesuatu sesuai kehendak-Nya sementara, hingga saatnya, yang Trasenden meminta miliknya untuk kembali kepada-Nya.

Sempat tidak sih terpikirkan kematian akan diri sendiri? Bagaimana cara kita mendatangkan kematian, bagaimana kita dijemput oleh maut?

Dulu..dulu..., saat pijar semangat sudah mencapai titik habisnya, sempat juga terbersit cara mengakhiri hidup dengan tanpa kekerasan, hmmm.. percaya atau tidak, obat diabetes jika diminum melebihi takaran akan membuat tekanan gula darah menurun drastis. Sehingga membuat kita lemas, mengantuk, dan lalu tertidur, untuk waktu yang abadi........

Mudah bukan? Sakit tidak terasa, pergi pun selayaknya tertidur dalam waktu yang cukup lama...

Hanya orang-orang terdekat yang membuat diri ini tidak melakukan hal tersebut, bagaimana perasaan mereka jika diri ini harus meninggalkan mereka?
Dan juga.... pertanggungjawaban diri dengan Tuhan. Lalu setelah hal2 tersebut dilakukan, apa yang akan dihadapi? Kehidupan setelah kematian, akankah lebih baik dari sebelumnya? Bagaimana jika lebih parah karena kita yang memutuskan untuk menemui kematian bukan berdasarkan kehendak-Nya?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat diri ini tetap bertahan.....

Thursday, August 26, 2004

Hari ini Tentang...

Tadinya.. entah kenapa hari ini selubung hitam sempat melingkupi diriku kuku ku.. entah mengapa, hari ini hatiku.. ku…ku sedang nggak begitu bagus ajah.

Tapi.. hati manusia, siapa yang tahu, tiba2 dalam sekejap, sepersekian detik, berubah dengan drastis hanya dengan sebuah percakapan. Dengan siapa? dengan seseorang yang membuat molekul tubuhku bergerak lebih cepat sehingga membentuk sebuah ramuan ajaib yang dapat membuat bibir ini tetap tersenyum, hehe…


nah saat ini diriku ingin bercerita mengenai....

Saat Mentari Bersinar

Kebahagiaan hinggap tanpa mencari celah, kapan dimana, tak terduga....
Tak ingin hilang rasa ini, kebahagiaan.... slalu berharap untuk kembali.

Kalian yang telah membuat serbuk kebahagiaan bagi ramuan kehidupanku ini, jangan pernah berakhir hingga akhir dunia pun. Biar ramuan hidupku terus tercampur dengan serbuk yang mengalir abadi sehingga memenuhi lembaran hidup yang terbang tinggi ke angkasa....terus terbang........tinggi...

Saat ini ada mentari yang bersinar di hatiku. Terasa hangaaatttt hangat terasa... kiranya hangat mentari dalam hatiku ini dapat menyinari orang-orang yang turut membuat mentari bersinar.
Kiranya kalian yang menjadi serbuk kebahagiaan turut merasakan kehangatan sinar mentari kebahagiaan yang sedang bersinar dengan cerahnya di hatiku...

Serbuk yang menjadi pantai berpasir hangat dengan deru ombak yang mengalir seirama dan sejalan sehingga memberikan nyanyian kebahagiaan... benar-benar bahagia, pernahkan kalian rasakan itu?

Kebahagiaan abadi, atau mungkin kebahagiaan yang diharapkan akan abadi.

Kebahagiaan yang menetap sehingga suatu waktu dapat dijenguk apabila merindukan kehadirannya.

Kini hatiku sedang berada dalam terang dan hangat yang mendera.
Jangan pernah berlalu perasaan ini.....

Kiranya kini aku lelap dalam aroma ombak dalam pantai kebahagiaan dimana mentari terus bersinar walaupun ragaku terlelap, teranglah mentari yang menyinari hatiku.........

Wednesday, August 25, 2004

Space Controller


Kini kita berbicara mengenai ...... Waktu

Setiap manusia pasti pernah berpikir, walau sekalipun, atau bahkan berkali-kali... seandainya waktu dapat berputar kembali. Entah untuk mengalami lagi kejadian indah yang mungkin pernah terjadi di lampau, maupun untuk mengubah suatu kejadian yang tidak diharapkan, tetapi sudah terjadi.


Mengapa manusia selalu berkutat dengan waktu?
Sebenarnya siapa yang menciptakan dan mengenali adanya waktu, …sebuah pertanyaan retoris. Sebab manusia sendirilah yang menginginkan adanya waktu, adanya batas-batas dimana mereka dapat mengatur maupun diatur oleh aktivitas keseharian tersebut.

Waktu hanyalah seorang kakek tua yang menatap sinis dengan bandul jam di tangannya. Baginya, hidup manusia hanyalah pengisi setiap detiknya, menitnya, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Waktu berlalu dengan angkuhnya, seakan ia mempunyai kekuatan untuk membuat semua hal terjadi.
Mempercepat masa-masa bahagia dengan tidak membiarkannya kembali, dan memperlambat masa-masa kesedihan.

Sebenarnya waktu itu sebuah relativitas, dimana perhitungan waktu pada setiap orang tidaklah sama. Yang menyamakan hanyalah perhitungan formal dimana setiap jam adalah 60 menit dan setiap menit terdiri dari 60 detik.

Padahal, coba kita bayangkan sejenak, bagi seorang ilmuwan, waktu bertahun-tahun di laboratorium hanya terlewati barang sejenak, namun bagi seorang musisi, sehari saja rasanya sudah seperti berabad lamanya.
Begitu juga bagi seorang anak kecil, sehari di taman bermain tentu berbeda lamanya dengan sehari di sekolah.

Mungkin kakek tua itu kesepian dengan tugasnya sebagai penjaga waktu, bagaimana seandainya ada seseorang yang bersedia ataupun dapat menemaninya dalam menjalani tugasnya?

Mungkin masa-masa bahagia dapat berlangsung selamanya, dan masa kesedihan tidak pernah terjadi, karena dilewati dengan begitu cepatnya?

Atau.. mungkin kebalikannya?
Rasa-rasanya, mungkin lebih baik segala sesuatu berjalan seperti biasanya. Karena setiap manusia merupakan individu dari ego-ego yang ada, maka pengendali waktu haruslah seseorang yang tak ber-ego, yang mampu berkuasa atas dirinya sendiri.


Jika emosi yang bertumpuk tak dapat diungkapkan, yang ada hanyalah bangkai kesedihan yang membaui seluruh dinding pertahanan jiwa dengan aroma yang memuakkan.

Jika emosi dan ego bersatu maka kehancuran rohani tak dapat terelakkan.

Jika emosi membasahi jiwa yang bertumbuh bukan saja kebencian tapi juga dendam dan kemarahan yang subur dan berakar.

Jika emosi memenuhi tarikan nafas, yang diperlukan hanyalah..........berbagi.

Berbagi beban, sehingga emosi itu tidak bertumbuh, mungkin hanya sekedar mengendap, setelah luapan emosi mengering, mungkin akan menguap...
Bersatu dengan hembusan nafas yang berjalan keluar menuju udara hingga lenyap ditelan atmosfer.
Namun.. adakah yang mau berbagi?

Disaat tubuh dan pikiran dikuasai emosi.... mengapa dunia menjauh? Apakah mungkin aura emosi tersebut bertahta dengan kuat sehingga mempengaruhi setiap mahluk?
Disaat seperti ini, hanya pertolongan Tuhan yang dapat diharapkan....

Tolonglah hamba-Mu ini.......

Sunday, August 22, 2004

Hidup Hanya Sekedar Ilusi...

Mengapa? Kebahagiaan begitu cepat menghampiri, ia selalu datang dalam waktu singkat, yang kemudian mempersilahkan gelap untuk kembali menyelimuti.

Tidak setiap individu dilahirkan sempurna, walau banyak yang terlihat seperti itu.
Tidak selalu ada pelangi yang dikatakan para pujangga...

Ketiadaan...
Tiap pribadi mengalaminya dimana ketiadaan menyapu keadaan dengan durinya yang tajam. Dalam pekatnya masa ketiadaan, impian dan harapan datang dengan api semu-nya yang membakar dinginnya angan. Dengan begitu, hangat yang terasa pun hanyalah sebuah fantasi. Kini hanya berharap Tuhan akan membantu dengan keajaibannya.

Karena dia.... siapapun dia yang dicintai oleh hati ini, pasti telah dicintai dan mencintai hati lain sebelum pribadi ini sempat menawarkan serbuk keabadian cinta dengan taburan kesetiaannya.
Saat hati ini jatuh, siapa yang coba mengangkatnya? karena kita hanya hidup sendiri di dunia ini. Dunia sosial hanyalah milik mereka yang mampu membelinya. Kini yang patut diandalkan hanyalah kekuatan jiwa sendiri untuk membantunya dalam keterpurukan.

Karena.. jika hidup ini hanyalah ilusi, lalu semua ini juga merupakan kenyataan semua yang tidak akan menggoyahkan jiwa dan pikiran... atau mereka sendiri pun hanyalah sebuah ide yang diinjeksikan secara tiba-tiba dalam waktu singkat untuk menterjemakan makna hidup?

Karena hidup ini hanyalah sebuah ilusi, ilusi sesaat yang mencoba membuka ruang dalam pikiran jiwa untuk memenuhi ruang kosong dalam kehampaannya. Melatih kekuatan hati, pikiran dan jiwa untuk menempanya dalam sebuah simulasi menuju sesuatu yang kekal, apakah mereka layak?


Mengapa kejadian menyakitkan selalu berulang? Akankah waktu berjalan terus kedepan sebagai sebuah garis lurus tanpa harus berputar?

He, always being someone else...
And he let me be loved by someone else, because, he never love me like the way I do.

Aku tidak keberatan menjalani ilusi ini..... untuk sementara.