Friday, April 30, 2004

Jika Hidup Adalah Ilusi

Jiwa adalah sebuah ruang dimana batin penjelma roh pengisinya. Setiap manusia, setiap wujud, memiliki jiwa, tapi tak semua beroleh batin.
Jangan biarkan masa menguasai asa, melepaskan waktu yang tersisa.
Karena ekstase yang datang pun pasti kan ada akhirnya.
Selembar ingatan telah terurai gumpalan waktu yang jatuh karena luka kecil yang terlalu banyak membuka jahitan luka lama. Jangan rasakan dalam hati, sebab batin pun dapat menangis.

Masih terasa uluran jiwa-jiwa yang membawa tinggi menuju keindahan semu yang kemudian kilas bahagia menghempaskan kembali batin ini. Untuk sesaat jiwa hampa karena roh masih menata tubuhnya untuk bisa bersatu kembali menjadi batin pengisi ruang jiwa. Dengan demikian bentangan luka bertambah oleh selimut masa.

Batas antara sedih dan bahagia serupa utas benang yang dinamakan kebimbangan. Tak ubahnya masa yang merenda waktu, sebagai manusia pikiran ini pun merasakan sulitnya membedakan “apakah saat ini aku sedih?” atau “mungkin aku bahagia?”. Sedangkan ketika ku bertanya pada airmata, ia pun mengalami gundah yang membuatnya terus pasrah akan gravitasi bumi. Tiba-tiba logikaku berusaha mencari jawab pada suara hati “Bagaimana jika kukatakan bahwa air mata adalah lambang perasaan?” dan kudengar jawaban....

“Air mata tidak hanya mewakilkan sepotong perasaan, tetesnya merupakan bumbu penyedap seperti royco di dapur ibu dalam gumpalan yang berisi potongan-potongan rasa”

Sebenarnya apalah arti dari berbagai definisi hidup yang bahkan menyerupai catalog? Hidup hanyalah ada ketika mengalami[1] yang kemudian memiliki arti jika dijalani maknanya.
Hidup dan semua yang ada di dalamnya sudah cukup dimengerti ketika mengalami.

Apalah arti sebongkah kata? Kata hanyalah gumpalan huruf bersusun yang memiliki makna dalam suatu semiotik[2].

Alunan perenungan itu tidak berhenti sampai batas waktu yang tak terkira, melantun terus bagai nyanyian tak berakhir. Lembut. Namun kekal.
Bukankah itu yang dicari? Kekekalan yang abadi

Kejenuhan akan kesendirian membawa hawa mistis yang meleburkan hasrat jiwa dalam pekat malam, seakan menyatu lenyap dengan kelam. Saat sang jiwa sibuk berkelana satu hal yang dirasakan roh. Kesepian

Saat ini Sang jiwa tidak menyadari bahwa kehadirannyalah yang menyatu dengan roh yang dapat memberi damai baginya. Ia tidak sadar, atau tidak peduli? Dengan siksaan hebat ilalang tajam yang menusuk tubuh sang jiwa. Ia tidak menyadari bahwa penantiannya ada ketika ia menyatu dengan sang Roh dalam leburnya hasrat menuju Sang Ilahi. Roh masih menunggu………

[1] “Cogito, ergo sum”, aku berpikir, maka aku ada – definisi Cartesian mengenai keberadaan
[2] Semiotika adalah ilmu mengenai lambang, dimana bahasa adalah salah satu unsurnya