Saturday, May 29, 2004

Tentang Seseorang

Pelangi yang sempat datang

Dia... pemberi getaran dalam simpul pikiran, pemberi kejutan elektrik yang mampu menghidupkan kembali ritme jantung yang dulu sempat menghilang..lama.. hingga terlupakan.
Sampai saat ini.... memori yang tersimpan dalam arsip pikiran terangkat kembali, dengan menambahkan pengetahuan baru tentang cara mengatasi ritmis yang datang untuk dapat dijalani dengan nyaman.


Pembuat ruang kecil yang segera bertumbuh dengan cepat dalam dunia mimpi, untuk kemudian menguasai setiap celah pikiran.

Penyegar dalam udara kehidupan, yang dengan cepat mewangi untuk kemudian menghilang....bersama dengan hembusan angin.

Cerita ini adalah tentang Seseorang yang mampu membuat seluruh atom dalam tubuh ini bergerak lebih cepat dan berpikir mereka akan segera mendapatkan teman untuk membentuk sebuah senyawa.

Friday, May 21, 2004

Jika Hidup Illusi, lalu cinta?

Jika hidup adalah ilusi, lalu cinta itu apa?

Cinta itu suatu relativitas yang tak terdefinisikan secara objektif maupun subjektif. Cinta hanya mengalami suatu bentuk bagian dari hidup yang dapat terjawab oleh pengalaman

Cinta hanya ada apabila sepotong jiwa menemukan potongan jiwa yang hilang. Lalu bilamanakah cinta dibenci maupun dilupakan?
Sebab yang bertemu dan menyatu bukanlah jiwa, tetapi ego. Pada tingkat ego orang tidak dapat memihak pada organisme yang utuh melainkan hanya pada sebagian perwujudan mental organisme, yang dikenal sebagai citra diri atau ego. Diri yang tak berwujud ini dianggap berbeda di dalam tubuh, dan karena itulah orang akan mengatakan, “Saya memiliki tubuh”, bukannya “Saya adalah tubuh”
[1].

[1] Tingkat Ego merupakan tingkat dasar dari empat tingkat kesadaran yang diajukan oleh Ken Wilber, yaitu terdiri dari tingkat ego, tingkat biososial, tingkat eksistensial dan tingkat transpersonal.

Thursday, May 20, 2004

Invasi Dunia Maya

Andai… saat kerinduan itu hadir dapat tergambar wajah terindu itu.
Andai… ada tertuju saat-saat kerinduan itu datang.
Andai… saat-saat kerinduan itu ada.. karena tanpa tujuan yang solid wajah kerinduan itu tentu tak kunjung hadir. Lalu saat ini apa?

Menunggu waktu atau waktu yang menunggu? Aahh.. waktu tak pernah mau menunggu. Ia hanyalah seorang kakek tua yang dengan tergesa berlari menuju….?
Bukankah waktu adalah dirinya?
Lalu apakah yang ia kejar? Mengapa ia tidak berhenti saja dari tugasnya biar manusia bebas bermain dengan waktu. Jadi invisible hands[1]-nya Adam Smith pun hanya menjadi mitos belaka. Iihhh seorang pengkhayal muncul lagi….

Begitu banyak pengkhayal-pengkhayal di otakku, sampai sesak rasanya tubuh logikaku dihimpit sosok para pengkhayal itu.
Terkadang, kupikir, apa kudepak saja yah para tukang mimpi itu dari ruang otakku? Tapi nggak bisa!!!
Mereka sudah menancapkan akar dalam serabut otakku. Jika mereka ada, maka aku ada, jika mereka tidak ada maka eksistensikupun dapat dikatakan tidak ada.. karena aku…kosong

Tubuh tanpa jiwa, sebuah manekin yang tidak berharga, tanpa mereka para pemimpi itu.


Saat kembali ke realita, rasanya seperti dihempaskan ke bumi hingga dasar. Sakit. Rasanya sakiiiiit!

Lalu bisa apa para pemimpi itu? Para homunculus? Menyapu realita dengan buaian lagi? Huh! Realita terlalu kejam untuk ditutupi, terlalu busuk, menyengat!
Terkadang rasanya ingin hidup saja dalam dunia mimpi bersama para surealis schizhrophrenia itu…. Eh masuk RSJ donk?! Gak jadi deh. Biarlah, walau pahit, kujalani saja kenyataan dengan apa adanya. Justru dengan bantuan para homunculus itu yang semakin tambun dengan hidup dari sisa-sisa sari otakku.

Aaahh.. menyatukan hati, meleburkan jiwa….
Saat seperti itu terjadi lagi. Hiks, kala cinta melambai, tentu tak dapat ditarik kembali, karena sudah terlihat….eh, patutkah itu disebut cinta?

Hmm..waktuuu..kembalikan saat-saat dimana cinta tak sempat melambai. Seperti dulu saat bersama, tak ada keraguan[2].

Tolong jangan biarkan diri beku dalam kesenyapan asa, kosong, hampa, yang pada akhirnya…..duka yang menyapa.

Waktu, tolong…. Apa yang bisa kuperbuat?
Homunculus dalam waktu pun akhirnya mengeluh, karena serabut otakku hanya terisi oleh ketidakpastian tentangnya…

Kini… homunculus itu semakin kehilangan virus-virus kreatifitas mayanya, yang kesemuanya melebur menjadi hanya seseorang.
Yah, saat ini hanya seseorang, tanpa tanding.

Masih dalam kebimbangan, menunggu keputusan atom-atom dalam tubuh ini memutuskan, apakah ini…turbulensi, bifurkasi atau..cinta? hhh..
Mereka belum memutuskan. Seharusnyakah aku menunggu atau kupaksa saja homunculus itu bekerja lebih giat, sampai mati…..lalu aku pun..tiada

Jiwa, pikiran, hati.. semua mati karena hampa. Yang tersisa hanyalah tubuh tak berjiwa, kuburan para homunculus yang mati karena keputusan yang salah.
Hingga semesta pun menganaktirikan raga kosong ini, karena semesta memutuskan untuk melebur bersama jiwa yang hilang.

Mungkin sebaiknya tetap menunggu para atom memutuskan dan membiarkan para homunculus itu menginjeksi kembali serabut-serabut akar dalam otakku.

Lalu apa ini?
Virus yang melanda seluruh hati dan pikiran menjadi tak berujung tak bermakna..
Semuanya hanya tentang…
Membiarkan homunculus menginvansi sel-sel hingga serabut otak kananku..
Mati?
Lalu ketika kita terlelap, akankah mereka tetap terjaga?
Lalu apa yang membuat mimpi ada?
Kurasa mereka tetap bekerja, bahkan lebih giat, sebab ketika kita terlelap, realita kita lumpuh total, sehingga memberikan ruang ekstra bagi mereka untuk menginjeksikan sepenuhnya…

Hey, kalau begitu aku harus berterimakasih pada homunculus yang bertugas tadi malam, sebab ia sudah memberikan gambaran yang mengarah pada realita.

Jika ini tetap dilanjutkan.
Jika homunculus siang-ku tetap menginjeksikan khayalan yang sama hingga mempengaruhi jalan pikiran dan perbuatan.
Terimakasih…. Kepada homunculus tak dikenal itu…

Kini aku akan mencoba berjalan kembali dalam setapak logikaku, dengan meninggalkan harapan-harapan semu yang dulu membuatku bertahan hidup.
Kini aku akan mencoba hidup dengan mencoba bersahabat dengan realita….. doakan

Esoknya…

Hahahahaha… mimpi yang mengarah pada realita itu sudah bertransformasi menjadi realita murni. Walau tidak sepenunnya, namun cukup untuk membuat sebuah lubang (lagi?) di hatiku yang tinggal bersisa serpihan-serpihan memori hangat…

[1] Invisible hands: suatu teori dari Adam Smith dimana kita aktivitas kita digerakkan oleh tangan2 yang tak terlihat.
[2] Cinta Kan Membawamu, Dewa 19

Saturday, May 15, 2004

Pada Suatu Hari

Another chapter.....
Dung dung dung dung dung…..
Langit…ngit.. ngit...
Kemana sih warna birumu yang indah itu? Dipersaikan awan abu-abu nan hitam yang bergulung-gulung yang bawakan hujan dengan gemuruh guntur dan percikan kilatnya?

Kenapa sih awan hujan selalu berwarna kelabu yang menyiratkan warna dingin nan sendu dan pilu?
Ataukah aku sudah mulai mendiskriminasikan warna?
Mungkin karena warna kesukaanku biru, maka kuanggap saja definisi indah itu apabila awan putih menghiasi langit biru…
Padahal sebenarnya aku cukup menyukai hujan loh!

Dari aroma khas yang ditimbulkankan ketika air hujan tersebut menyentuh permukaan tanah merah yang dibuatnya basah. Aroma tersebut memiliki cita rasa tersendiri yang terpatri dalam memori otakku ini.

Saat indera penciuman menjembatani bau khas tersebut, sehingga menimbulkan perasaan damai, tentram, nyaman.. ya begitulah.. aneh bukan? Kadang-kadang rasanya terlalu egois juga jika kita merasa bahagia saat hujan datang, padahal banyak orang menderita karena..... kebanjiran…

Seharusnya kita dapat berbagi kebahagiaan melalui hujan.
Seharusnya orang-orang berbahagia dengan hadirnya hujan.

Ah itu semua gara-gara birokrasi rumit yang menunda-nunda dana banjir. Shit! Orang-orang jadi merasa kesal pabila hujan turun…

Untung saja deh, masih ada untung, (dasar orang jawa)... rumahku tidak kebanjiran.
Apa jadinya jika hal itu terjadi? Ih amit-amit

Hujan.... kamu akan jadi musuhku.
Tapi, rasanya tidak, sebab hujan memiliki aromatherapy yang membuatku tetap jatuh cinta padanya... yah untuk sementara.